Kamis, 18 April 2013

SUNGAI MAUT




Hujan sore ini turun sangat deras. Angin berhembus kencang, menyisakan dingin yang menusuk pori-pori. Pak Ahmad dan istrinya menghentikan aktivitas dan bergegas menuju ranjang. Saling berpelukan menepis rasa takut dan perasaan terpukul di atas tempat yang paling nyaman itu. Begitulah kebiasaan mereka bila hujan turun sangat deras.
***
Dua bulan sebelumnya. Pak Ahmad berdiri menatap langit lewat jendela kaca rumahnya. Hujan tak kunjung berhenti sejak kemarin sore sampai dini hari. Syukurlah, pagi ini hujan turun tak begitu deras.Walaupun begitu, laki-laki setengah baya itu tetap merasa was-was. Mungkin karena mendengar kabar kemarin sore tentang anak yang terbawa arus sungai yang sedang pasang di pesawahan.
Dilihatnya beberapa anak tetangga berlari-lari kecil menuju rumahnya.
“Assalamu’alaikuuum, Faaqiih, ayo kita bermain..,“ teriak salah seorang di antara mereka. Rupanya mereka teman-teman Faqih, anak Pak Ahmad, yang masih berumur enam tahun.
Mendengar ajakan teman-temannya, Faqih berlari menemui ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Bu, Faqih boleh main sama teman-teman ya?“ Faqih mengglendot ke pinggang ibunya.
“Izin Bapak sana!”
“Jangan, jangan keluar dulu, Faqih! Di luar masih hujan,” jawab Pak Ahmad sepontan ketika mendengar istrinya menyuruh anaknya untuk izin kepadanya. Dia tak ingin kejadian kemarin menimpa anak satu-satunya juga. Dia terlalu khawatir.
Mendengar jawaban ayahnya, Faqih berjalan menuju ruang tamu dengan putus asa. Teman-temannya masih menunggunya di teras depan.
“Ayo, Faqih. Kita bermain bola!” kata seorang temannya ketika melihat Faqih dari kaca riben. Faqih hanya menggelengkan kepala. Setelah itu tak ada ajakan kepada Faqih lagi. Teman-temannya mengerti Faqih dilarang orangtuanya bermain di luar rumah kala hujan.
Faqih masih tak beranjak dari kaca jendela rumahnya. Dia memandangi teman-temannya yang sedang bermain. Asyik sekali tampaknya.
Tak perlu menunggu terlalu lama, rasa iba merambat ke dalam hati Pak Ahmad dan istrinya.
“Ya sudah. karena tinggal rintik-rintik, kamu boleh main. Tapi syaratnya kamu tidak boleh main di sungai.”
Faqih mengerjap-kerjap gembira. Diciumnya pipi Pak Ahmad berkali-kali.
“Terima kasih, Ayah...”
Setelah beberapa menit membiarkan anaknya bermain, Pak Ahmad memastikan keberadaan anaknya, apakah masih di depan rumahnya atau tidak. Tetapi,.dia tak menjumpai seorang pun di teras. sempurna sudah kekhawatirannya. Tanpa menunda-nunda, dia mencari anak semata wayangnya. Bertanya kepada tetangga dan siapa saja yang dia temui. Jawaban mereka tetap sama; tidak tahu.
Pak Ahmad tidak putus asa dan terus mencarinya, sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang anak.
“Nak, kau lihat Faqih tidak?”
“Ya, Pak, tadi saya lihat dia sedang mengejar mainannya yang jatuh di sungai” jawab anak itu sambil menunjuk ke arah sungai.
Mendengar jawaban anak itu, dia kaget dan segera menelusuri sungai tersebut, tapi sayang usahanya sia-sia. Karena kecapekan mencari anaknya dan belum ketemu juga, akhirnya dia pulang dengan tangan hampa.
Waktu Dhuhur sebentar lagi tiba. Faqih belum juga pulang. Sekali lagi Pak Ahmad keluar dengan sepeda ontelnya untuk mencari Faqih. Baru beberapa kayuh, Pak Ahmad melihat orang-orang berlarian menuju satu arah. Karena penasaran, dia menyusul mereka.
“Ada apa ini, kok semuanya pada berlarian?” tanyanya pada salah satu dari mereka.
“Katanya ada seorang anak yang meninggal di sawah sana.” Jawab orang tersebut sambil menunjuk ke arah utara. Mendengar jawaban tersebut hatinya berdegup kencang. Gugup, dia menelusuri jalanan di pinggir sawah.
Pak Ahmad menelusup ke kerumunan orang. berharap tahu siapa anak itu. Bukan Faqih! Bukan Faqih! Harapnya dalam hati.
Seorang bocah tersungkur, tak sadarkan diri. dan saat itu seakan dunia runtuh menimpa jantung Pak Ahmad...
Faqih...
Jantung Faqih diraba. Ada detak di sana tetapi lemah sekali. Faqih segera di bawa ke RS terdekat.
Tetapi takdir Allah berada di atas segalanya. Belum sampai tujuan, nyawanya tak terselamatkan.
Pak Ahmad mendekap erat istrinya yang terlihat masih sangat syok. Apa yang dikhawatirkannya terjadi, sungai itu mengambil anaknya.
***
Hujan sudah reda, Pak Ahmad dan istrinya turun dari ranjang untuk memulai aktivitas. Sayup-sayup, dari luar rumah terdengar teriakan, “Tolong, tolong, ada anak tenggelam di sungai..” Suami istri itu saling berpandangan, sungai itu lagi-lagi memakan korban.  

PAMAN RAMADHAN




Di sebuah kampung, tinggal sebuah keluarga yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari seorang bapak, ibu, dan seorang anak berumur lima tahun, Fahmi namanya.
Hari ini, sekolah Fahmi libur. Seperti biasa, Fahmi bermain bersama teman-teman sebayanya. Mereka sangat suka bermain di sebuah lapangan yang luas. Banyak yang bisa mereka mainkan di lapangan, seperti sepak bola, budminton, tenis, atau hanya duduk-duduk bersantai di tengah lapangan.
Kali ini Fahmi dan teman-temannya hanya duduk-duduk santai di tengah lapangan sambil mengobrol. Diantara teman-temannya, Fahmilah yang paling pendiam, dia hanya mendengarkan cerita teman-temannya. Jika teman-temannya tertawa dia ikut tertawa, dan jika teman-temanya serius, dia akan ikut serius mendengarkan.
“Wah, lebaran kemarin, Mama membelikan dua baju baru untuk ku. Mama juga membelikanku sepatu baru, padahal sepatu lamaku belum rusak, lho. Kata mama, biar aku punya dua sepatu dan bisa ganti-ganti sehingga tidak bosan,” kata Hanif yang orang tuanya mempunyai toko material yang besar sekali.
“Wah kalau aku punya baju baru banyak sekali lebaran kemarin. Mamaku sendiri membelikanku baju koko dan hem, nenek juga membelikanku satu baju baru, dan aku juga mendapat satu baju baru dan sepasang sepatu dari tanteku,” kata Doni yang mempunyai rumah besar di ujung jalan dan mempunyai mobil yang sangat keren.
Mereka sangat antusias bernostalgia tentang hari lebaran. Mereka kelihatan begitu ceria. Tetapi tanpa mereka sadari, salah satu dari mereka hanya diam membisu, hatinya sangat sedih. Anak tersebut adalah Fahmi. Orang tuanya tak pernah membelikan baju baru di hari lebaran, kata emaknya, uang hanya cukup buat makan. Fahmi sangat iri dengan teman-temannya.
“Mak, kapan sih Emak akan membelikanku baju baru?” Tanya Fahmi saat pulang dari bermain.
“Fahmi, uang Emak saat ini belum bisa untuk beli baju baru. Emak usahakan, kalau Ramadhan sudah datang, Emak belikan, oke?” Kata Emak sambil mengelus kepala Fahmi. Mendengar jawaban emaknya, Fahmi pun sangat senang sekali. Kali ini ia akan mencoba meminta bapak, barangkali bapaknya punya uang untuk membelikan baju baru waktu dekat ini.
“Bapak, Fahmi ingin baju baru. Kapan Bapak akan membelikannya untukku?” Kata Fahmi sambil melendot bapaknya yang sedang memberi makan burung perkutut.
“Wah, Bapak belum punya uang, Le. Nanti saja kalau Ramadhan sudah datang, Bapak membelikanmu baju di swalayan, oke?” Kata bapak menjajikan. Fahmi pun mengangguk mantap. Hatinya sangat ceria.
Setiap hari, Fahmi menunggu datangnya Ramadhan. Ia membayangkan dirinya memakai baju hem dengan setelan celana jins. Wah pasti cakep. Fahmi pun tersenyum sendiri.
Suatu hari, Fahmi berjalan-jalan sendirian sambil memikirkan Ramadhan. Kenapa Ramadhan tak kunjung datang? Benarkah kata bapak dan emak kalau Ramadhan benar-benar akan datang? Tiba-tiba Fahmi mendengar sebuah teriakan.
“Paman Ramadhan, ayo cepat kemari...!”
Suara teriakan itu tak jauh dari tempat berdiri Fahmi. Ia pun langsung mencari sumber suara tersebut. Terlihat seorang laki-laki keluar dari supermarket menuju mobilnya, ia membawa beberapa plastik belanjaan. Sepertinya laki-laki tersebut yang dipanggil dengan ‘Paman Ramadhan’. Fahmi pun segera menghampirinya.
“Assalamualaikum, benarkah namamu Paman Ramadhan?” Tanya Fahmi kepada laki-laki tersebut.
“Ya, benar, namaku Paman Ramadhan. ada apa, Dik?” Tanya laki-laki tersebut.
“Wah, akhirnya engkau datang juga, Paman. Aku sudah menunggumu sejak seminggu yang lalu.” Laki-laki yang bernama Paman Ramadhan itu mengernyitkan dahinya.
“Paman, kata orang tuaku, kalau Ramadhan sudah datang, mereka akan membelikanku baju baru. Dan sekarang kau sudah datang. Mm.. apakah yang kau bawa ini semuanya buatku?” Tanya Fahmi sambil menunjuk plastik-plastik besar yang dibawa oleh Paman Ramadhan. Paman Ramadhan pun terkejut dengan perkataan Fahmi, namun akhirnya tersenyum juga.
“Oh. Hehe. Ya benar, aku membelikan ini untuk mu. Dan ini ada uang buatmu, belilah baju yang kau sukai di toko,” kata Paman Ramadhan sambil menyerahkan plastik besar berisi makanan ringan kepada Fahmi.
“Waah, terima kasih, Paman. Paman, ayo ke rumahku. Rumahku tak jauh dari sini, kok. Emak dan bapak ada di rumah,” kata Fahmi sambil menarik tangan Paman Ramadhan.
“Wah, Paman terburu-buru. Lain kali saja Paman main ke rumahmu, oke? Sampaikan kepada emak dan bapak, ini semua oleh-oleh dari Paman Ramadhan” Paman Ramadhan bergegas menuju mobilnya, ia tersenyum lebar dengan kejadian ini. Dari jauh Fahmi melambaikan tangannya.

SEIRIS DONAT UNTUK PENGEMIS




Bau menyengat itu menyeruak masuk ke rongga hidung para penumpang bus Surya Kencana. Seorang pengemis wanita bersama anak balita yang digendongnya masuk ke dalam bus. Pengemis wanita itu duduk tepat di sebelahku. Kebetulan kursi di sampingku merupakan satu-satunya kursi yang masih kosong. Bau amis campur pesing yang bersumber dari wanita itu membuat ku tak tahan untuk terus bernafas. Terpaksa ku keluarkan minyak aroma theraphy yang biasa ku bawa untuk melindungi hidung ku dari bau tak sedap itu.
Ku lihat para penumpang bis juga terganggu dengan aroma yang bersumber dari tubuh pengemis itu. Masing-masing dari mereka berusaha melindungi hidung mereka dengan sapu tangan. Namun si wanita ini acuh tak acuh dengan keadaan sekitar. Ia mulai bercanda dengan anaknya. Bocah itu berceloteh tak begitu jelas. Namun ibunya bisa saja menjawab semua celotehannya. Dari cara bicara yang pelat itu, ku bisa memperkirakan umur bocah itu. Kira-kira dua tahun. Yah, ku menebak seperti itu karena keponakanku yang berumur dua tahun, perkembangannya seperti bocah tersebut. Sambil menjawab balik celotehan anaknya, si pengemis wanita itu sesekali melirik ke arahku. Seakan-akan ia memamerkan kelucuan anaknya. Ku hanya membalas lirikan itu dengan senyum kecilku.
Bocah itu masih berceloteh. Sebentar-sebentar anak itu menatapku. Kedua matanya sangat bening. Mencerminkan kesucian jiwanya. Tak berdosa. Seharusnya anak ini tak berada di sini. Pasti keadaannya akan lebih baik jika ia berada ditangan orang-orang yang berpendidikan dan peduli dengan masa depan anaknya. Ah.. malang benar anak ini. Aku masih menatap anak itu dengan iba sambil sibuk beridialog dengan diriku sendiri. Tak ku sadari ternyata anak batita itu menyudahi celotehannya dan ganti menatapku malu-malu. Mungkin dia agak salah tingkah karena merasa dirinya ku lihat terus menerus. Ku berikan senyum termanisku pada bocah itu. Anak itu pun menjawab senyumku malu-malu lalu melihat wajah ibunya sebentar dan kembali menatapku lagi. Ku begitu merasa iba. Ingin sekali ku bisa membahagiakan anak itu,dan aku berandai-andai untuk menjadi pengasuhnya. Ah, mungkin karena ku memang sudah merindukan buah hati yang tak kunjung ku miliki. Yah.. bagaimana ku bisa memiliki anak jika menikah saja belum. Aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba ku teringat dengan jajan yang ku beli tadi sebelum berangkat. Pasti bocah itu akan senang jika aku memberinya jajan. Langsung ku rogoh tasku, dan ku aduk-aduk cepat mencari plastik hitam berisi jajananku. Yup. Ini dia. Lhoh isinya cuman satu ya.. Aku pun teringat, kalau aku sengaja membeli satu donat untuk sekedar mengganjal perutku sebagai pengganti sarapan. Aku melihat sekilas ke arah anak itu. Alamak! Dia sedang menatap tasku. Mungkin dia tertarik melihat gerakanku mengaduk-aduk tas mencari sesuatu. Ah, masa bodoh dengan diriku. Niat baik tak boleh dibatalkan.
“Ini adek ada donat. Mau ga? Enak loh..” kataku sambil menyodorkan donat itu. pada bocah itu. Aku tersenyum renyah dan mataku berisyarat kepada bocah itu, merayunya untuk mau mengambil donat pemberianku. Bocah itu menatap ibunya meminta pertimbangan. Sang ibu tersenyum.
“Iya, mbak, makasih mbaak, ayo dong dek, makasih sama mbaknya dulu” kata ibu itu sambil mengambil donat dari tanganku dan memberikannya pada anaknya.
“Iya, sama-sama. Nama adek siapa?” tanyaku ramah, berbasa basi.
“Hanif ad-Dziky, Mbaak”, sang ibu menjawab dengan nada yang lembut seakan-akan membahasakan anaknya. Wow! Aku berdecak kagum. Ah, ternyata gembel-gembel gini bisa beri anaknya nama yang bagus. Keren!
“Wah nama yang bagus”, pujiku. Suasana pun menjadi hangat dan bersahabat. Akhirnya kita pun ngobrol ngalor-ngidul. Ibu itu bercerita banyak tentang profesinya menjadi pengemis. Ibu itu juga mengatakan bahwa dia lebih suka mengemis di toko-toko orang Cina. Karena mereka sangat dermawan sekali. Selain itu ia bercerita tentang lokasi mana saja yang menjadi bidikannya. Sepertinya dia bangga dan sangat menyukai profesi yang digelutinya. Aku hanya tersenyum kecil mendengar semua ceritanya. Tak terasa, bus sudah hampir sampai di tempat yang ku tuju. Aku pun permisi untuk berdiri dan siap untuk turun.
Di depan gerbang masuk kampus ku turun. Bergegas ku menuju ruang administrasi untuk melengkapi administrasi. Ku berniat selesai mengurus administrasi ku akan mengikuti satu matkul lanjut ke perpus untuk mencari referensi. Sudah beberapa meter berjalan, ku rasakan tubuhku agak limbung. Perutku terasa perih. Aku merintih pelan. Mengapa fisikku tak sefit kemaren yah? Masya Allah, aku lupa. Aku kan memang belum sarapan. Ah, jadi ingat donat yang ku beli tadi pagi. Tapi donat itu bukan lagi milikku, karena sudah ku berikan pada bocah pengemis sewaktu di bus tadi. Ah bocah malang. Tega nian ibunya, mendidiknya menjadi orang hina. Sebelum ke ruang admin, ku berbelok dulu ke kantin, membeli makanan untuk mengganjal rasa laparku yang kian menjadi.
***
Jam menunjukkan pukul 14.30. Hari sudah hampir sore. Ku bergegas keluar dari perpustakaan. Angin berhembus menyisakan rasa dingin di pori-pori. Cuaca sangat gelap. Awan-awan tebal memenuhi setiap senti ruang langit, sehingga membuat warna langit begitu suram. Sepertinya hujan akan turun. Setengah berlari, ku menyusuri jalan menuju tempat penantian bus, halte. Untung ruang perpustakaan berada di bangunan kampus paling ujung. Sehingga tidak begitu jauh berjalan menuju gerbang luar. Halte bus yang ku tuju berada di seberang kampus.
‘Tek..tek..tek.. breeeessssshh’, hujan turun cukup deras. ‘Hup’ ku meloncat menaiki lantai halte. Ada beberapa orang selainku yang berteduh di bawah atap halte sambil menunggu bus yang akan mereka tumpangi.
‘Clap. Clap. Blaaarrrr’. Cahaya kilat disusul suara petir yang bersahut-sahutan cukup membikin hati berebar-debar karena sangking kerasnya. Hujan semakin deras dan angin bertiup sangat kencang. Badai. Ku lihat satu persatu dari motor-motor yang melaju di jalan raya mulai menepi untuk berteduh. Mungkin mereka juga tak berani nekad karena angin berhembus sangat kencang. Begitu pula hujan semakin deras. Hanya kendaraan roda empat saja yang masih melaju dengan tenangnya.
Di kejauhan, ku melihat pemandangan yang sangat mengejutkan. Seorang wanita yang menggendong anaknya berlari di bawah guyuran hujan. Di tangannya ada sebuah payung yang tak begitu bisa memayungi dirinya dan anak yang digendongnya karena kalah dengan lebatnya hujan.Wanita itu menuju halte bus tempat aku berdiri. Setelah jarak wanita tersebut dengan halte lumayan dekat, ku baru tahu, bahwa si wanita dan anak yang digendongnya adalah pengemis yang duduk satu bus dengan ku tadi pagi. Ibu itu naik ke halte bus dan meletakkan anaknya di bangku halte.
“Nak, kamu tunggu di sini dulu ya.. Ibu mau ambil topi kamu yang jatuh, sebentar kok” kata ibu itu tergesa-gesa lalu kembali berlari menerjang hujan. Bocah tak berdosa itu basah kuyup. Badannya gemetar. Tentu dia sangat kedinginan. Aku terus memandangi bocah itu. Ku merasa iba. Namun apa yang harus ku perbuat? Aku bingung. Aku hanya bisa memandangi bocah itu dari jarak yang tidak dekat. Bocah itu pun juga tak bisa melihatku di sini. Karena terhalangi oleh orang-orang yang berdiri diantara aku dan bocah itu. Satu persatu, orang di halte itu pergi dengan bus yang telah mereka dapatkan. Kini tinggal tiga orang dewasa yang tersisa di bawah atap halte. Kesempatanku untuk menyapa bocah malang itu. Belum lagi beranjak dari tempat berdiriku, bus yang ku tunggu sudah datang. Semua yang ada di halte tersebut langsung bergegas menaiki bus. Hanya tinggal si bocah, duduk sendirian. Tiba-tiba si bocah menangis. Mungkin karena takut sendirian. Dari dalam bus, ku melihat bocah tersebut dengan rasa kasihan. Ku mengutuk ibunya yang tega sekali meninggalkan anaknya sembarangan. Hatiku sama sekali tak tenang meninggalkan anak itu di sana. Walau bus sudah bergerak, ku minta untuk diberhentikan dan ku turun lagi. Keinginanku hanya satu. Ingin mendekap anak itu. Dalam keadaan berlari dan tak peduli dengan hujan dan badai yang sedang terjadi, ku kembali menuju halte. Sesampai di halte, ku raih bocah itu dan langsung ku dekap erat-erat. Ku menoleh ke arah bus yang ku tumpangi tadi. Sudah berjalan lumayan jauh. Namun tak jadi masalah bagiku. Aku bisa menunggu bus selanjutnya.
Bocah yang ku gendong sudah mulai berhenti dari menangis. Sengaja ku ajak dialog supaya dia berhenti dari tangisnya. Ibunya belum juga kelihatan.
Belum sampai sepuluh menit, tiba-tiba jalan raya dihadapanku macet sampai ratusan meter. Ku lihat orang-orang berlarian menuju arah Barat. Ku bertanya pada bapak-bapak yang juga ikutan pergi ramai-ramai ke arah Barat.
“Bis Surya Kencana tertimpa pohon, Mba”, jawab seorang bapak sambil berlari. ‘Deg’ hatiku sangat kaget. Surya Kencana? Inna lillahi, bukankah itu bus yang tadi ku tumpangi?? Masya Allah, Alhamdulillah, Allah menyelamatkan ku lewat bocah ini. Coba bagaimana jadinya kalau aku masih di dalam bus. Mungkin aku akan tercatat sebagai salah satu korban kecelakaan. Subhanallah. Mungkin inilah balasan Allah dari sebuah kebaikan yang ku lakukan hari ini, yaitu seiris donat yang ku berikan kepada bocah ini.

-          THE END  -