Bau menyengat itu menyeruak masuk ke rongga hidung para penumpang
bus Surya Kencana. Seorang pengemis wanita bersama anak balita yang
digendongnya masuk ke dalam bus. Pengemis wanita itu duduk tepat di sebelahku.
Kebetulan kursi di sampingku merupakan satu-satunya kursi yang masih kosong. Bau amis campur pesing yang bersumber dari wanita itu
membuat ku tak tahan untuk terus bernafas. Terpaksa ku keluarkan minyak aroma
theraphy yang biasa ku bawa untuk melindungi hidung ku dari bau tak sedap itu.
Ku lihat para penumpang bis juga terganggu dengan aroma yang
bersumber dari tubuh pengemis itu. Masing-masing dari mereka berusaha
melindungi hidung mereka dengan sapu tangan. Namun si wanita ini acuh tak acuh
dengan keadaan sekitar. Ia mulai bercanda dengan anaknya. Bocah itu berceloteh
tak begitu jelas. Namun ibunya bisa saja menjawab semua celotehannya. Dari cara
bicara yang pelat itu, ku bisa memperkirakan umur bocah itu. Kira-kira dua
tahun. Yah, ku menebak seperti itu karena
keponakanku yang berumur dua tahun, perkembangannya seperti bocah tersebut. Sambil menjawab balik celotehan anaknya, si pengemis wanita itu
sesekali melirik ke arahku. Seakan-akan ia memamerkan kelucuan anaknya. Ku
hanya membalas lirikan itu dengan senyum kecilku.
Bocah itu masih berceloteh. Sebentar-sebentar anak itu menatapku. Kedua
matanya sangat bening. Mencerminkan kesucian jiwanya. Tak berdosa. Seharusnya
anak ini tak berada di sini. Pasti keadaannya akan lebih baik jika ia berada ditangan
orang-orang yang berpendidikan dan peduli dengan masa depan anaknya. Ah..
malang benar anak ini. Aku masih menatap anak itu dengan iba sambil sibuk
beridialog dengan diriku sendiri. Tak ku sadari ternyata anak batita itu
menyudahi celotehannya dan ganti menatapku malu-malu. Mungkin dia agak salah
tingkah karena merasa dirinya ku lihat terus menerus. Ku berikan senyum
termanisku pada bocah itu. Anak itu pun menjawab senyumku malu-malu lalu
melihat wajah ibunya sebentar dan kembali menatapku lagi. Ku begitu merasa iba.
Ingin sekali ku bisa membahagiakan anak itu,dan aku berandai-andai untuk menjadi
pengasuhnya. Ah, mungkin karena ku memang sudah merindukan buah hati yang tak
kunjung ku miliki. Yah.. bagaimana ku bisa memiliki anak jika menikah saja
belum. Aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba ku teringat dengan jajan yang ku beli
tadi sebelum berangkat. Pasti bocah itu akan senang jika aku memberinya jajan. Langsung
ku rogoh tasku, dan ku aduk-aduk cepat mencari plastik hitam berisi jajananku.
Yup. Ini dia. Lhoh isinya cuman satu ya.. Aku pun teringat, kalau aku sengaja
membeli satu donat untuk sekedar mengganjal perutku sebagai pengganti sarapan.
Aku melihat sekilas ke arah anak itu. Alamak! Dia sedang menatap tasku. Mungkin
dia tertarik melihat gerakanku mengaduk-aduk tas mencari sesuatu. Ah, masa
bodoh dengan diriku. Niat baik tak boleh dibatalkan.
“Ini adek ada donat. Mau ga? Enak loh..”
kataku sambil menyodorkan donat itu. pada bocah itu. Aku tersenyum renyah dan
mataku berisyarat kepada bocah itu, merayunya untuk mau mengambil donat
pemberianku. Bocah itu menatap ibunya meminta pertimbangan. Sang ibu tersenyum.
“Iya, mbak, makasih mbaak, ayo dong dek,
makasih sama mbaknya dulu” kata ibu itu sambil mengambil donat dari tanganku
dan memberikannya pada anaknya.
“Iya, sama-sama. Nama adek siapa?” tanyaku ramah,
berbasa basi.
“Hanif ad-Dziky, Mbaak”, sang ibu menjawab
dengan nada yang lembut seakan-akan membahasakan anaknya. Wow! Aku berdecak
kagum. Ah, ternyata gembel-gembel gini bisa beri anaknya nama yang bagus.
Keren!
“Wah nama yang bagus”, pujiku. Suasana pun
menjadi hangat dan bersahabat. Akhirnya kita pun ngobrol ngalor-ngidul.
Ibu itu bercerita banyak tentang profesinya menjadi pengemis. Ibu itu juga
mengatakan bahwa dia lebih suka mengemis di toko-toko orang Cina. Karena mereka
sangat dermawan sekali. Selain itu ia bercerita tentang lokasi mana saja yang
menjadi bidikannya. Sepertinya dia bangga dan sangat menyukai profesi yang
digelutinya. Aku hanya tersenyum kecil mendengar semua ceritanya. Tak terasa,
bus sudah hampir sampai di tempat yang ku tuju. Aku pun permisi untuk berdiri
dan siap untuk turun.
Di depan gerbang masuk kampus ku turun. Bergegas
ku menuju ruang administrasi untuk melengkapi administrasi. Ku berniat selesai
mengurus administrasi ku akan mengikuti satu matkul lanjut ke perpus untuk
mencari referensi. Sudah beberapa meter berjalan, ku rasakan tubuhku agak
limbung. Perutku terasa perih. Aku merintih pelan. Mengapa fisikku tak sefit
kemaren yah? Masya Allah, aku lupa. Aku kan memang belum sarapan. Ah, jadi
ingat donat yang ku beli tadi pagi. Tapi donat itu bukan lagi milikku, karena
sudah ku berikan pada bocah pengemis sewaktu di bus tadi. Ah bocah malang. Tega
nian ibunya, mendidiknya menjadi orang hina. Sebelum ke ruang admin, ku
berbelok dulu ke kantin, membeli makanan untuk mengganjal rasa laparku yang
kian menjadi.
***
Jam menunjukkan pukul 14.30. Hari sudah
hampir sore. Ku bergegas keluar dari perpustakaan. Angin berhembus menyisakan
rasa dingin di pori-pori. Cuaca sangat gelap. Awan-awan tebal memenuhi setiap
senti ruang langit, sehingga membuat warna langit begitu suram. Sepertinya
hujan akan turun. Setengah berlari, ku menyusuri jalan menuju tempat penantian
bus, halte. Untung ruang perpustakaan berada di bangunan kampus paling ujung.
Sehingga tidak begitu jauh berjalan menuju gerbang luar. Halte bus yang ku tuju
berada di seberang kampus.
‘Tek..tek..tek.. breeeessssshh’, hujan
turun cukup deras. ‘Hup’ ku meloncat menaiki lantai halte. Ada beberapa orang
selainku yang berteduh di bawah atap halte sambil menunggu bus yang akan mereka
tumpangi.
‘Clap. Clap. Blaaarrrr’. Cahaya kilat
disusul suara petir yang bersahut-sahutan cukup membikin hati berebar-debar
karena sangking kerasnya. Hujan semakin deras dan angin bertiup sangat kencang.
Badai. Ku lihat satu persatu dari motor-motor yang melaju di jalan raya mulai
menepi untuk berteduh. Mungkin mereka juga tak berani nekad karena angin
berhembus sangat kencang. Begitu pula hujan semakin deras. Hanya kendaraan roda
empat saja yang masih melaju dengan tenangnya.
Di kejauhan, ku melihat pemandangan yang
sangat mengejutkan. Seorang wanita yang menggendong anaknya berlari di bawah
guyuran hujan. Di tangannya ada sebuah payung yang tak begitu bisa memayungi
dirinya dan anak yang digendongnya karena kalah dengan lebatnya hujan.Wanita
itu menuju halte bus tempat aku berdiri. Setelah jarak wanita tersebut dengan
halte lumayan dekat, ku baru tahu, bahwa si wanita dan anak yang digendongnya
adalah pengemis yang duduk satu bus dengan ku tadi pagi. Ibu itu naik ke halte
bus dan meletakkan anaknya di bangku halte.
“Nak, kamu tunggu di sini dulu ya.. Ibu mau
ambil topi kamu yang jatuh, sebentar kok” kata ibu itu tergesa-gesa lalu
kembali berlari menerjang hujan. Bocah tak berdosa itu basah kuyup. Badannya
gemetar. Tentu dia sangat kedinginan. Aku terus memandangi bocah itu. Ku merasa
iba. Namun apa yang harus ku perbuat? Aku bingung. Aku hanya bisa memandangi
bocah itu dari jarak yang tidak dekat. Bocah itu pun juga tak bisa melihatku di
sini. Karena terhalangi oleh orang-orang yang berdiri diantara aku dan bocah
itu. Satu persatu, orang di halte itu pergi dengan bus yang telah mereka
dapatkan. Kini tinggal tiga orang dewasa yang tersisa di bawah atap halte.
Kesempatanku untuk menyapa bocah malang itu. Belum lagi beranjak dari tempat
berdiriku, bus yang ku tunggu sudah datang. Semua yang ada di halte tersebut
langsung bergegas menaiki bus. Hanya tinggal si bocah, duduk sendirian.
Tiba-tiba si bocah menangis. Mungkin karena takut sendirian. Dari dalam bus, ku
melihat bocah tersebut dengan rasa kasihan. Ku mengutuk ibunya yang tega sekali
meninggalkan anaknya sembarangan. Hatiku sama sekali tak tenang meninggalkan
anak itu di sana. Walau bus sudah bergerak, ku minta untuk diberhentikan dan ku
turun lagi. Keinginanku hanya satu. Ingin mendekap anak itu. Dalam keadaan
berlari dan tak peduli dengan hujan dan badai yang sedang terjadi, ku kembali
menuju halte. Sesampai di halte, ku raih bocah itu dan langsung ku dekap
erat-erat. Ku menoleh ke arah bus yang ku tumpangi tadi. Sudah berjalan lumayan
jauh. Namun tak jadi masalah bagiku. Aku bisa menunggu bus selanjutnya.
Bocah yang ku gendong sudah mulai berhenti
dari menangis. Sengaja ku ajak dialog supaya dia berhenti dari tangisnya.
Ibunya belum juga kelihatan.
Belum sampai sepuluh menit, tiba-tiba jalan
raya dihadapanku macet sampai ratusan meter. Ku lihat orang-orang berlarian
menuju arah Barat. Ku bertanya pada bapak-bapak yang juga ikutan pergi
ramai-ramai ke arah Barat.
“Bis Surya Kencana tertimpa pohon, Mba”,
jawab seorang bapak sambil berlari. ‘Deg’ hatiku sangat kaget. Surya Kencana? Inna
lillahi, bukankah itu bus yang tadi ku tumpangi?? Masya Allah, Alhamdulillah,
Allah menyelamatkan ku lewat bocah ini. Coba bagaimana jadinya kalau aku masih
di dalam bus. Mungkin aku akan tercatat sebagai salah satu korban kecelakaan.
Subhanallah. Mungkin inilah balasan Allah dari sebuah kebaikan yang ku lakukan
hari ini, yaitu seiris donat yang ku berikan kepada bocah ini.
-
THE END -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar