Kamis, 18 April 2013

SEIRIS DONAT UNTUK PENGEMIS




Bau menyengat itu menyeruak masuk ke rongga hidung para penumpang bus Surya Kencana. Seorang pengemis wanita bersama anak balita yang digendongnya masuk ke dalam bus. Pengemis wanita itu duduk tepat di sebelahku. Kebetulan kursi di sampingku merupakan satu-satunya kursi yang masih kosong. Bau amis campur pesing yang bersumber dari wanita itu membuat ku tak tahan untuk terus bernafas. Terpaksa ku keluarkan minyak aroma theraphy yang biasa ku bawa untuk melindungi hidung ku dari bau tak sedap itu.
Ku lihat para penumpang bis juga terganggu dengan aroma yang bersumber dari tubuh pengemis itu. Masing-masing dari mereka berusaha melindungi hidung mereka dengan sapu tangan. Namun si wanita ini acuh tak acuh dengan keadaan sekitar. Ia mulai bercanda dengan anaknya. Bocah itu berceloteh tak begitu jelas. Namun ibunya bisa saja menjawab semua celotehannya. Dari cara bicara yang pelat itu, ku bisa memperkirakan umur bocah itu. Kira-kira dua tahun. Yah, ku menebak seperti itu karena keponakanku yang berumur dua tahun, perkembangannya seperti bocah tersebut. Sambil menjawab balik celotehan anaknya, si pengemis wanita itu sesekali melirik ke arahku. Seakan-akan ia memamerkan kelucuan anaknya. Ku hanya membalas lirikan itu dengan senyum kecilku.
Bocah itu masih berceloteh. Sebentar-sebentar anak itu menatapku. Kedua matanya sangat bening. Mencerminkan kesucian jiwanya. Tak berdosa. Seharusnya anak ini tak berada di sini. Pasti keadaannya akan lebih baik jika ia berada ditangan orang-orang yang berpendidikan dan peduli dengan masa depan anaknya. Ah.. malang benar anak ini. Aku masih menatap anak itu dengan iba sambil sibuk beridialog dengan diriku sendiri. Tak ku sadari ternyata anak batita itu menyudahi celotehannya dan ganti menatapku malu-malu. Mungkin dia agak salah tingkah karena merasa dirinya ku lihat terus menerus. Ku berikan senyum termanisku pada bocah itu. Anak itu pun menjawab senyumku malu-malu lalu melihat wajah ibunya sebentar dan kembali menatapku lagi. Ku begitu merasa iba. Ingin sekali ku bisa membahagiakan anak itu,dan aku berandai-andai untuk menjadi pengasuhnya. Ah, mungkin karena ku memang sudah merindukan buah hati yang tak kunjung ku miliki. Yah.. bagaimana ku bisa memiliki anak jika menikah saja belum. Aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba ku teringat dengan jajan yang ku beli tadi sebelum berangkat. Pasti bocah itu akan senang jika aku memberinya jajan. Langsung ku rogoh tasku, dan ku aduk-aduk cepat mencari plastik hitam berisi jajananku. Yup. Ini dia. Lhoh isinya cuman satu ya.. Aku pun teringat, kalau aku sengaja membeli satu donat untuk sekedar mengganjal perutku sebagai pengganti sarapan. Aku melihat sekilas ke arah anak itu. Alamak! Dia sedang menatap tasku. Mungkin dia tertarik melihat gerakanku mengaduk-aduk tas mencari sesuatu. Ah, masa bodoh dengan diriku. Niat baik tak boleh dibatalkan.
“Ini adek ada donat. Mau ga? Enak loh..” kataku sambil menyodorkan donat itu. pada bocah itu. Aku tersenyum renyah dan mataku berisyarat kepada bocah itu, merayunya untuk mau mengambil donat pemberianku. Bocah itu menatap ibunya meminta pertimbangan. Sang ibu tersenyum.
“Iya, mbak, makasih mbaak, ayo dong dek, makasih sama mbaknya dulu” kata ibu itu sambil mengambil donat dari tanganku dan memberikannya pada anaknya.
“Iya, sama-sama. Nama adek siapa?” tanyaku ramah, berbasa basi.
“Hanif ad-Dziky, Mbaak”, sang ibu menjawab dengan nada yang lembut seakan-akan membahasakan anaknya. Wow! Aku berdecak kagum. Ah, ternyata gembel-gembel gini bisa beri anaknya nama yang bagus. Keren!
“Wah nama yang bagus”, pujiku. Suasana pun menjadi hangat dan bersahabat. Akhirnya kita pun ngobrol ngalor-ngidul. Ibu itu bercerita banyak tentang profesinya menjadi pengemis. Ibu itu juga mengatakan bahwa dia lebih suka mengemis di toko-toko orang Cina. Karena mereka sangat dermawan sekali. Selain itu ia bercerita tentang lokasi mana saja yang menjadi bidikannya. Sepertinya dia bangga dan sangat menyukai profesi yang digelutinya. Aku hanya tersenyum kecil mendengar semua ceritanya. Tak terasa, bus sudah hampir sampai di tempat yang ku tuju. Aku pun permisi untuk berdiri dan siap untuk turun.
Di depan gerbang masuk kampus ku turun. Bergegas ku menuju ruang administrasi untuk melengkapi administrasi. Ku berniat selesai mengurus administrasi ku akan mengikuti satu matkul lanjut ke perpus untuk mencari referensi. Sudah beberapa meter berjalan, ku rasakan tubuhku agak limbung. Perutku terasa perih. Aku merintih pelan. Mengapa fisikku tak sefit kemaren yah? Masya Allah, aku lupa. Aku kan memang belum sarapan. Ah, jadi ingat donat yang ku beli tadi pagi. Tapi donat itu bukan lagi milikku, karena sudah ku berikan pada bocah pengemis sewaktu di bus tadi. Ah bocah malang. Tega nian ibunya, mendidiknya menjadi orang hina. Sebelum ke ruang admin, ku berbelok dulu ke kantin, membeli makanan untuk mengganjal rasa laparku yang kian menjadi.
***
Jam menunjukkan pukul 14.30. Hari sudah hampir sore. Ku bergegas keluar dari perpustakaan. Angin berhembus menyisakan rasa dingin di pori-pori. Cuaca sangat gelap. Awan-awan tebal memenuhi setiap senti ruang langit, sehingga membuat warna langit begitu suram. Sepertinya hujan akan turun. Setengah berlari, ku menyusuri jalan menuju tempat penantian bus, halte. Untung ruang perpustakaan berada di bangunan kampus paling ujung. Sehingga tidak begitu jauh berjalan menuju gerbang luar. Halte bus yang ku tuju berada di seberang kampus.
‘Tek..tek..tek.. breeeessssshh’, hujan turun cukup deras. ‘Hup’ ku meloncat menaiki lantai halte. Ada beberapa orang selainku yang berteduh di bawah atap halte sambil menunggu bus yang akan mereka tumpangi.
‘Clap. Clap. Blaaarrrr’. Cahaya kilat disusul suara petir yang bersahut-sahutan cukup membikin hati berebar-debar karena sangking kerasnya. Hujan semakin deras dan angin bertiup sangat kencang. Badai. Ku lihat satu persatu dari motor-motor yang melaju di jalan raya mulai menepi untuk berteduh. Mungkin mereka juga tak berani nekad karena angin berhembus sangat kencang. Begitu pula hujan semakin deras. Hanya kendaraan roda empat saja yang masih melaju dengan tenangnya.
Di kejauhan, ku melihat pemandangan yang sangat mengejutkan. Seorang wanita yang menggendong anaknya berlari di bawah guyuran hujan. Di tangannya ada sebuah payung yang tak begitu bisa memayungi dirinya dan anak yang digendongnya karena kalah dengan lebatnya hujan.Wanita itu menuju halte bus tempat aku berdiri. Setelah jarak wanita tersebut dengan halte lumayan dekat, ku baru tahu, bahwa si wanita dan anak yang digendongnya adalah pengemis yang duduk satu bus dengan ku tadi pagi. Ibu itu naik ke halte bus dan meletakkan anaknya di bangku halte.
“Nak, kamu tunggu di sini dulu ya.. Ibu mau ambil topi kamu yang jatuh, sebentar kok” kata ibu itu tergesa-gesa lalu kembali berlari menerjang hujan. Bocah tak berdosa itu basah kuyup. Badannya gemetar. Tentu dia sangat kedinginan. Aku terus memandangi bocah itu. Ku merasa iba. Namun apa yang harus ku perbuat? Aku bingung. Aku hanya bisa memandangi bocah itu dari jarak yang tidak dekat. Bocah itu pun juga tak bisa melihatku di sini. Karena terhalangi oleh orang-orang yang berdiri diantara aku dan bocah itu. Satu persatu, orang di halte itu pergi dengan bus yang telah mereka dapatkan. Kini tinggal tiga orang dewasa yang tersisa di bawah atap halte. Kesempatanku untuk menyapa bocah malang itu. Belum lagi beranjak dari tempat berdiriku, bus yang ku tunggu sudah datang. Semua yang ada di halte tersebut langsung bergegas menaiki bus. Hanya tinggal si bocah, duduk sendirian. Tiba-tiba si bocah menangis. Mungkin karena takut sendirian. Dari dalam bus, ku melihat bocah tersebut dengan rasa kasihan. Ku mengutuk ibunya yang tega sekali meninggalkan anaknya sembarangan. Hatiku sama sekali tak tenang meninggalkan anak itu di sana. Walau bus sudah bergerak, ku minta untuk diberhentikan dan ku turun lagi. Keinginanku hanya satu. Ingin mendekap anak itu. Dalam keadaan berlari dan tak peduli dengan hujan dan badai yang sedang terjadi, ku kembali menuju halte. Sesampai di halte, ku raih bocah itu dan langsung ku dekap erat-erat. Ku menoleh ke arah bus yang ku tumpangi tadi. Sudah berjalan lumayan jauh. Namun tak jadi masalah bagiku. Aku bisa menunggu bus selanjutnya.
Bocah yang ku gendong sudah mulai berhenti dari menangis. Sengaja ku ajak dialog supaya dia berhenti dari tangisnya. Ibunya belum juga kelihatan.
Belum sampai sepuluh menit, tiba-tiba jalan raya dihadapanku macet sampai ratusan meter. Ku lihat orang-orang berlarian menuju arah Barat. Ku bertanya pada bapak-bapak yang juga ikutan pergi ramai-ramai ke arah Barat.
“Bis Surya Kencana tertimpa pohon, Mba”, jawab seorang bapak sambil berlari. ‘Deg’ hatiku sangat kaget. Surya Kencana? Inna lillahi, bukankah itu bus yang tadi ku tumpangi?? Masya Allah, Alhamdulillah, Allah menyelamatkan ku lewat bocah ini. Coba bagaimana jadinya kalau aku masih di dalam bus. Mungkin aku akan tercatat sebagai salah satu korban kecelakaan. Subhanallah. Mungkin inilah balasan Allah dari sebuah kebaikan yang ku lakukan hari ini, yaitu seiris donat yang ku berikan kepada bocah ini.

-          THE END  -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar