Kamis, 18 April 2013

PAMAN RAMADHAN




Di sebuah kampung, tinggal sebuah keluarga yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari seorang bapak, ibu, dan seorang anak berumur lima tahun, Fahmi namanya.
Hari ini, sekolah Fahmi libur. Seperti biasa, Fahmi bermain bersama teman-teman sebayanya. Mereka sangat suka bermain di sebuah lapangan yang luas. Banyak yang bisa mereka mainkan di lapangan, seperti sepak bola, budminton, tenis, atau hanya duduk-duduk bersantai di tengah lapangan.
Kali ini Fahmi dan teman-temannya hanya duduk-duduk santai di tengah lapangan sambil mengobrol. Diantara teman-temannya, Fahmilah yang paling pendiam, dia hanya mendengarkan cerita teman-temannya. Jika teman-temannya tertawa dia ikut tertawa, dan jika teman-temanya serius, dia akan ikut serius mendengarkan.
“Wah, lebaran kemarin, Mama membelikan dua baju baru untuk ku. Mama juga membelikanku sepatu baru, padahal sepatu lamaku belum rusak, lho. Kata mama, biar aku punya dua sepatu dan bisa ganti-ganti sehingga tidak bosan,” kata Hanif yang orang tuanya mempunyai toko material yang besar sekali.
“Wah kalau aku punya baju baru banyak sekali lebaran kemarin. Mamaku sendiri membelikanku baju koko dan hem, nenek juga membelikanku satu baju baru, dan aku juga mendapat satu baju baru dan sepasang sepatu dari tanteku,” kata Doni yang mempunyai rumah besar di ujung jalan dan mempunyai mobil yang sangat keren.
Mereka sangat antusias bernostalgia tentang hari lebaran. Mereka kelihatan begitu ceria. Tetapi tanpa mereka sadari, salah satu dari mereka hanya diam membisu, hatinya sangat sedih. Anak tersebut adalah Fahmi. Orang tuanya tak pernah membelikan baju baru di hari lebaran, kata emaknya, uang hanya cukup buat makan. Fahmi sangat iri dengan teman-temannya.
“Mak, kapan sih Emak akan membelikanku baju baru?” Tanya Fahmi saat pulang dari bermain.
“Fahmi, uang Emak saat ini belum bisa untuk beli baju baru. Emak usahakan, kalau Ramadhan sudah datang, Emak belikan, oke?” Kata Emak sambil mengelus kepala Fahmi. Mendengar jawaban emaknya, Fahmi pun sangat senang sekali. Kali ini ia akan mencoba meminta bapak, barangkali bapaknya punya uang untuk membelikan baju baru waktu dekat ini.
“Bapak, Fahmi ingin baju baru. Kapan Bapak akan membelikannya untukku?” Kata Fahmi sambil melendot bapaknya yang sedang memberi makan burung perkutut.
“Wah, Bapak belum punya uang, Le. Nanti saja kalau Ramadhan sudah datang, Bapak membelikanmu baju di swalayan, oke?” Kata bapak menjajikan. Fahmi pun mengangguk mantap. Hatinya sangat ceria.
Setiap hari, Fahmi menunggu datangnya Ramadhan. Ia membayangkan dirinya memakai baju hem dengan setelan celana jins. Wah pasti cakep. Fahmi pun tersenyum sendiri.
Suatu hari, Fahmi berjalan-jalan sendirian sambil memikirkan Ramadhan. Kenapa Ramadhan tak kunjung datang? Benarkah kata bapak dan emak kalau Ramadhan benar-benar akan datang? Tiba-tiba Fahmi mendengar sebuah teriakan.
“Paman Ramadhan, ayo cepat kemari...!”
Suara teriakan itu tak jauh dari tempat berdiri Fahmi. Ia pun langsung mencari sumber suara tersebut. Terlihat seorang laki-laki keluar dari supermarket menuju mobilnya, ia membawa beberapa plastik belanjaan. Sepertinya laki-laki tersebut yang dipanggil dengan ‘Paman Ramadhan’. Fahmi pun segera menghampirinya.
“Assalamualaikum, benarkah namamu Paman Ramadhan?” Tanya Fahmi kepada laki-laki tersebut.
“Ya, benar, namaku Paman Ramadhan. ada apa, Dik?” Tanya laki-laki tersebut.
“Wah, akhirnya engkau datang juga, Paman. Aku sudah menunggumu sejak seminggu yang lalu.” Laki-laki yang bernama Paman Ramadhan itu mengernyitkan dahinya.
“Paman, kata orang tuaku, kalau Ramadhan sudah datang, mereka akan membelikanku baju baru. Dan sekarang kau sudah datang. Mm.. apakah yang kau bawa ini semuanya buatku?” Tanya Fahmi sambil menunjuk plastik-plastik besar yang dibawa oleh Paman Ramadhan. Paman Ramadhan pun terkejut dengan perkataan Fahmi, namun akhirnya tersenyum juga.
“Oh. Hehe. Ya benar, aku membelikan ini untuk mu. Dan ini ada uang buatmu, belilah baju yang kau sukai di toko,” kata Paman Ramadhan sambil menyerahkan plastik besar berisi makanan ringan kepada Fahmi.
“Waah, terima kasih, Paman. Paman, ayo ke rumahku. Rumahku tak jauh dari sini, kok. Emak dan bapak ada di rumah,” kata Fahmi sambil menarik tangan Paman Ramadhan.
“Wah, Paman terburu-buru. Lain kali saja Paman main ke rumahmu, oke? Sampaikan kepada emak dan bapak, ini semua oleh-oleh dari Paman Ramadhan” Paman Ramadhan bergegas menuju mobilnya, ia tersenyum lebar dengan kejadian ini. Dari jauh Fahmi melambaikan tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar