Kita
sebagai seorang mu’allim (guru), pasti sering pusing menghadapi segala polah
tingkah anak didik di majlis ta’lim. Seperti di TPA, di TK, SD, MTS atau bahkan
di Muallimat/ tingkat SMA. Sebelum para peserta didik menapaki jenjang kuliah,
memang sudah sewajarnya jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang membuat para ustadz-ustadzahnya pusing. Begitu juga dengan kita, memang kita harus rela berpusing-pusing ria plus
berjengkel-jengkel ria menghadapi tingkah polah mereka. Karena memang tingkah
laku para peserta didik selama di majlis ta’lim adalah di bawah tanggung jawab
pengajar Walaupun begitu, kita harus pintar-pintar menjaga perasaan
jengkel atau pusing yang dirasakan plus berhati-hati mengekspresikan perasaan
itu sehingga tindakan kita juga terkendali.
Mengatasi
dan menyelesaikan masalah para peserta didik memang susah-susah gampang.
Apalagi jika persoalan yang terjadi lumayan pelik. Wah, mungkin ustadz-ustadzahnya pun
bisa jadi strees dibuatnya. ^_^. Memang mencari solusi dan penyelesaian
permasalahan yang pas dan tepat membutuhkan upaya extra, agar persoalan
benar-benar selesai dan tidak merembet dan memunculkan persoalan yang lain
lagi. Lalu bagaimanakah supaya bisa mendapatkan cara penyelesaian yang tepat?
Dalam
menyelesaikan masalah, diperlukan kemampuan dalam menghakimi. Jika begitu
adanya, maka para ustadz-ustadzah pun harus mempunyai kemampuan menjadi hakim. Tentu bukan
sekedar hakim kacangan yang kerjanya hanya memvonis terdakwa saja, namun harus
menjadi hakim yang baik dan adil. Nah berikut ini akan saya paparkan apa yang
harus dilakukan para ustadz-ustadzah untuk menjadi hakim yang baik dan adil itu.
1.
Memahami
Persoalan dengan Baik
Jika
suatu waktu kita dihadapkan pada sebuah kasus atau permasalahan yang dilakukan
oleh para peserta didik, maka langkah yang pertama kali kita ambil adalah,
mendalami akar persoalan dengan baik terlebih dahulu. Hal ini sangat penting
agar keputusan yang kita ambil nantinya benar-benar tepat. Jadi, mungkin yang
pertama kali kita lakukan adalah menggali informasi sebanyak mungkin dari anak
yang bersangkutan, dari teman-teman yang berkaitan dengan anak tersebut, atau
pihak-pihak lain yang dapat memberikan penjelasan tentang masalah yang
sebenarnya.
Sebagai
contoh, jika ada salah satu peserta didik terlibat dalam suatu pertengkaran,
atau pelanggaran, tanpa suatu alasan yang jelas, maka sangat penting kita
mendalami akar masalahnya tersebut. Salah satu caranya adalah mengajak anak
yang bertengkar atau melanggar tersebut untuk berbicara dengan kita secara
pribadi dan memintanya untuk mengungkapkan akar masalah yang ia hadapi.
Semakin
banyak informasi yang kita ketahui, akan semakin mudah pula untuk
mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan diambil. Keputusan atau
hukuman pun akan tercipta dengan adil. Anak yang melanggar juga akan menerima
hukuman tersebut dengan lapang dada dan penuh dengan kesadaran diri.
2.
Tidak
Emosi
Dalam
menghadapi masalah, yang harus dihindari adalah emosi. Yah, mungkin tingkah
anak didik cukup membuat kita naik pitam, namun kita sebagai seorang utadz-ustadzah
tetap harus menahan emosi. Walaupun misalnya, si anak yang bermasalah itu tidak
bisa menunjukkan kerjasamanya saat kita ingin mengatasi permasalahannya. Kita
tetap harus menguatkan diri dan menjaga sikap kita dengan tenang dan sabar. Jangan
sampai emosi kita mempengaruhi keputusan yang kita buat.
Ingat
dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bukanlah orang yang kuat
yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi orang yang kuat adalah orang
yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Muttafaq ‘Alaih).
Emosi
atau amarah seringkali membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih,
kurang pertimbangan, dan tidak mampu memahami persoalan dengan baik. Jika
demikian, bisa dipastikan keputusan yang diambil tidak akan adil, bahkan bisa
saja menyimpang, dan tidak disetujui oleh banyak pihak.
Sudah
berapa banyak kita mendengar kabar penganiayaan guru terhadap muridnya.
Biasanya peristiwa diawali dengan tingkah murid (yang sebenarnya sepele) yang
membuat sang guru marah. Akibatnya terjadilah hukuman tak berperikemanusiaan
yang diberikan guru kepada murid. Itulah akibat dari emosi. Oleh sebab itu,
jika kita dalam keadaan emosi, sebaiknya kita endapkan dulu emosi kita, jangan
memberikan keputusan dulu, sampai keadaan kita menjadi labil dan kita bisa
berpikir jernih. Anak didik yang sengaja berbuat kesalahan memang harus diberi
sanksi. Namun, ingat, dalam memberikan sanksi, kondisi kita harus dalam keadaan
tenang dan tidak emosi. Karena sifat emosi yang meluap-luap bukan karakter ustadz-ustadzah
yang bijaksana.
3.
Tidak
Pilih Kasih
Siapapun yang melanggar peraturan akan
mendapatkan peringatan atau hukuman. Artinya, peringatan dan hukuman tetap
diberlakukan kepada siapapun yang melanggar. Tidak pandang bulu siapakah yang
melanggar, walaupun anak yang melanggar adalah anaknya sahabat kita, atau masih
ada hubungan kerabat dengan kita, atau malah anak kita sendiri. Jadi tidak ada
istilah pilih kasih. Semuanya dihukumi sama.
Sikap tidak pilih kasih inilah yang
harus kita tunjukkan kepada para peserta didik. Karena biasanya, sikap pilih
kasih sangat berpengaruh sekali dalam jiwa para peserta didik. Sikap pilih
kasih sangat begitu menyakiti hati peserta didik, bahkan mereka tidak akan
melupakannya selama hidup mereka.
4. Tegas
Inilah sikap yang harus kita miliki
tatkala membuat keputusan. Selama keputusan dibuat berdasarkan data-data yang
akurat, maka tanpa menghiraukan bisikan-bisikan yang masuk, kita harus komitmen
dengan keputusan yang memang sesuai untuk diterapkan dan jangan ragu. Jangan
sampai keputusan yang sudah dibuat diubah karena terpengaruh hal-hal yang tidak
semestinya. Karena jika demikian yang terjadi, maka keputusan yang diambil akan
terkesan main-main dan tidak serius. Dan
bahkan sangat repot juga, kalau misalnya para peserta didik menilai bahwa para ustadz-ustadzahnya
plin-plan dalam memberi aturan.
5. Konsekuensi bukan hukuman
Kegiatan
belajar dan mengajar sangat perlu aturan kedisiplinan demi kelancaran proses
belajar mengajar. Tingkah polah anak didik yang menyelisihi atau keluar dari
aturan kedisiplinan yang telah dibuat termasuk pelanggaran. Pelanggar aturan
pun harus diberi tindakan. Namun untuk pemberian tindakan ini, kita harus
sangat hati-hati memutuskannya. Sangat baik sekali kalau semua akibat dari
setiap pelanggaran bisa dipertimbangkan dan ditentukan sejak awal sebagai
konsekuensi. Yang perlu diingat, tindakan untuk semua pelanggaran ditujukan untuk
memberi konsekuensi dan bukan hukuman. Karena hukuman dan konsekuensi sangat
beda sekali. Coba kita kenali apa itu hukuman dan apa itu konsekuensi.
Hukuman
1.
Menjadikan peserta didik sebagai
pihak yang tidak punya hak tawar menawar dan tidak berdaya. Guru atau ustadz-ustadzahnya
menjadi pihak yang sangat berkuasa. Ingat “Power tends to corrupt”
2.
Jenisnya tergantung ustadz-ustadzahnya,
apabila hati ustadz-ustadzah sedang senang maka santri terlambat pun tidak akan
dikunci diluar.
3.
Bisa dijatuhkan berlipat-lipat
derajatnya terutama bagi santri yang sering melanggar peraturan.
4.
Ustadz-ustadzah cenderung memberi
cap buruk bagi santri yang sering melanggar.
5.
Sifatnya selalu berupa ancaman
6.
Tidak boleh ada pihak yang tidak
setuju, semua pihak harus setuju. Jadi sifatnya memaksa.
Konsekuensi
1.
Dijatuhkan saat ada perbuatan yang
terjadi dan berdasarkan pada aturan yang telah disepakati.
2.
Sesuai dengan perilaku pelanggaran
yang peserta didik lakukan.
3.
Menghindari memberi cap pada anak,
dengan memberi cap jelek akan melahirkan stigma pada diri anak bahwa ia adalah
pribadi yang berperilaku buruk untuk selama-lamanya.
4.
Membuat santri bertanggung jawab
pada pilihannya. Ustadz-ustadzah bisa mengatakan “Zulfan, kamu memilih untuk
ribut pada saat ustadz sedang menerangkan maka silahkan duduk di luar selama 5
menit”. Dengan demikian ustadz-ustadzah menempatkan harga diri anak pada
peringkat pertama. Bandingkan dengan perkataan ini “Zulfan, dasar kamu anak
tidak tahu peraturan,…. tukang ribut! Sana keluar….!
Bentuk hukuman dan kensekuensi dari
dhahirnya memang agak mirip. Namun, konsekuensi diadakan disertai kesadaran
murid sebagai akibat dari perbuatan yang ia lakukan. Misalnya, sebuah TPA
menerapkan konsekuensi atas para peserta didik yang terlambat, yaitu dengan
memotong jam istirahat sampai meminta mereka masuk TPA di hari libur. Dengan
demikian para peserta didik menjadi makin bertanggung jawab atas segala
tindakan yang dilakukannya serta harga diri mereka juga terjaga. Selain itu
juga mereka juga menjadi sadar bahwa konsekuensi bertujuan untuk penyadaran
dengan mengambil atau mengurangi hak istimewa mereka .
Konsekuensi juga diadakan dalam rangka
mengembangkan kualitas pendidikan. Sehingga bolehlah saya sebut konsekuensi
dengan hukuman edukatif. Dan sekali lagi, hukuman yang bersifat edukatif ini
dibuat bersamaan dengan dibuatnya peraturan-peraturan kedisiplinan, serta
disepakati oleh semua peserta didik sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang
terjadi.
6. Hukuman Edukatif
Hukuman memang sudah sewajarnya jika
diberikan kepada anak-anak yang sengaja berbuat kesalahan. Akan tetapi, dalam
menghukum, kita harus memperhatikan jenis hukuman apa yang seharusnya diberikan
kepada anak-anak yang melanggar. Perlu diketahui, hukuman itu ada, bukan hanya
supaya membuat anak jera dengan perbuatannya dan tidak mau mengulanginya. Akan
tetapi hukuman merupakan konsekuensi yang diadakan untuk menyadarkan sang anak
yang melanggar tadi, dan mengajarinya rasa tanggung jawab. Itu saja. Sehingga
dalam memberi hukuman, perlu sekali mempertimbangkan nilai edukatif yang
terkandung dalam hukuman yang kita adakan.
Ada banyak sekali jenis hukuman yang
mempunyai nilai edukatif, diantaranya:
1)
Menampakkan
wajah masam
Wajah
masam yang kita perlihatkan kepada anak yang melakukan kesalahan bertujuan
memperlihatkan kepada anak tersebut bahwa kita tidak suka dan tidak setuju
dengan perbuatannya. Bagi
anak, wajah masam yang diperlihatkan oleh para ustadz-ustadzahnya bisa menjadi
hukuman baginya. Saat anak yang melakukan kesalahan melihat perubahan ekspresi
kita, maka dia akan menyadari bahwa perbuatannya salah dan dia harus
memperbaikinya.
2)
Memberikan time
out
Maksud
dari memberikan time out adalah dengan menyuruh si anak untuk berpisah dari
kelompoknya, menyuruhnya duduk atau berdiri di suatu ruangan tertentu dalam
waktu tertentu untuk merenungi kesalahannya. Bisa juga, dengan cara meminta si anak
untuk beristighfar dengan jumlah tertentu. Setelah si anak selesai, baru anak
dijelaskan kesalah-kesalahannya dan akibat dari kesalahan tersebut. Dan dia
diperingatkan untuk tidak mengulanginya. Hukuman seperti ini sangat cocok untuk
anak yang melakukan kesalahan terkait sopan santun baik kepada guru, orang tua,
maupun kepada teman sebayanya.
3)
Memberi anak
tugas bersih-bersih
Sebagai
ustadz-ustadzah yang baik, kita tentu tak ingin memberikan toleransi kepada
anak yang tidak mau menjaga kebersihan. Tak hanya terhadap anak yang tak
menjaga kebersihan, kepada anak yang melakukan kesalahan lain pun bisa
diberikan hukuman ini. Ketika di majlis ta’lim, kita bisa menyuruh anak untuk
membersihkan papan tulis, menyapu kelas/ruang belajar sebelum pulang, atau
kebersihan lainnya. Hukuman ini juga bisa mengajarkan tanggung jawab terhadap
kebersihan lingkungan kepada si anak.
4)
Menyuruh anak
meminta maaf kepada orang yang disakitinya
Ketika
anak melakukan kesalahan kepada orang lain maka salah satu hukuman yang bisa
berikan kepada si anak adalah dengan menyuruhnya meminta maaf kepada orang yang
bersangkutan. Dengan menyuruhnya meminta maaf itu sama saja mengajarkan anak
untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
5)
Menyuruh anak berjanji
untuk tidak mengulanginya
Salah
satu tujuan diberikannya hukuman kepada anak adalah agar anak tidak mengulangi
perbuatannya. Jadi, setelah kita membuat anak sadar akan kesalahannya maka
tugas kita selanjutnya adalah membuat anak berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahan yang telah dilakukannya. Hukuman semacam ini memiliki banyak manfaat,
salah satunya adalah melatih anak untuk berlaku jujur, amanah, dan konsisten
untuk menepati janjinya.
6)
Menyuruh anak
membantu pekerjaan kita
Salah
satu hukuman yang edukatif adalah dengan menyuruh anak membantu pekerjaan kita.
Misalnya menghapus papan tulis, membagikan buku kepada santri lain, atau
tugas-tugas guru lainnya.
7)
Menyuruh anak
membaca buku dan menceritakan isinya
Menyuruh
anak membaca buku adalah salah satu jenis hukuman edukatif yang cukup banyak
disarankan oleh para pakar pendidikan dibanding dengan memarahi atau
memukulnya. Selain dapat menambah pengetahuan, hukuman ini juga mengajarkan
kebiasaan yang baik kepada si anak, khususnya kepada mereka yang tidak suka
membaca. Selain membaca buku, menyuruh anak menceritakan kembali apa yang ia
baca juga sangat penting. Hal ini diperlukan agar anak serius membaca apa yang
ia baca. Jika hanya diminta untuk membaca tanpa menyampaikan isi dari yang ia
baca, ada kemungkinan anak tidak serius membaca dan melakukannya hanya sebatas
penggugur dosa. Selain itu juga, hukuman jenis ini akan bermanfaat bagi kita
untuk mengetahui sejauh mana daya tangkap anak terhadap buku yang ia baca.
8)
Menyuruh anak
menghafal
Hmm,
ini mah hukuman favorit yang diberikan para ustadz-ustadzah untuk anak-anak
yang melakukan kesalahan. Memang sangat bagus sekali meminta anak untuk
menghafal, seperti menghafal surat-surat pendek dalam al-Qur’an, atau menghafal
pelajaran yang masih berkaitan. Hukuman ini akan sangat bermanfaat untuk
mengasah daya ingat, melatih konsentrasi, dan banyak manfaat lainnya.
9)
Menyuruh anak
menulis
Menulis
merupakan kegiatan yang sangat baik dibiasakan sejak kecil. Dengan menulis,
anak dilatih untuk bisa mentransfer apa yang ada dalam pikiran mereka dalam
bentuk tulisan. Menulis akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya
kreatifitas anak. Selain itu, kebiasaan menulis sejak kecil juga bisa menjadi
investasi masa depan bagi si anak. Jika kebiasaan menulisnya terus diasah,
bukan tidak mungkin si anak kelak akan menjadi seorang penulis hebat dan mampu
memberikan banyak mafaat bagi orang banyak.
7. Tidak Terlalu Memvonis, tetapi Menyadarkan
Terlalu memvonis
peserta didik yang berbuat salah sebenarnya merupakan cara yang kurang tepat.
Sebab, vonis akan membuat para peserta didik merasa tertekan dan terlalu
disalahkan, sehingga kemungkinan besar mereka akan menjadi pribadi yang minder
atau sebaliknya, pendendam. Oleh karena itu, jika kita sedang menangani peserta
didik yang sedang bermasalah, maka kita hindari sikap memvonis dan melakukan
upaya-upaya yang dapat membuat peserta didik menyadari akan kesalahannya.
Misalnya, kita katakana pada anak yang bersalah: “Ustadz ( Ustadzah) dapat
memahami mengapa kamu berbuat seperti itu. Akan tetapi kamu harus mengetahui
bahwa perbuatan yang kamu lakukan itu merupakan hal yang di larang di pesantren
ini. Ustadz (Ustadzah) bersedia membantu kamu asalkan kamu menyadari bahwa
tindakanmu kurang tepat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Jika kamu
bersedia, Ustadz (Ustadzah) sangat berterima kasih dan bangga dengan
keputusanmu”.