Minggu, 16 Juni 2013

USTADZAH YANG BIJAKSANA DALAM MENGHAKIMI



Kita sebagai seorang mu’allim (guru), pasti sering pusing menghadapi segala polah tingkah anak didik di majlis ta’lim. Seperti di TPA, di TK, SD, MTS atau bahkan di Muallimat/ tingkat SMA. Sebelum para peserta didik menapaki jenjang kuliah, memang sudah sewajarnya jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang membuat para ustadz-ustadzahnya pusing. Begitu juga dengan kita, memang kita harus rela berpusing-pusing ria plus berjengkel-jengkel ria menghadapi tingkah polah mereka. Karena memang tingkah laku para peserta didik selama di majlis ta’lim adalah di bawah tanggung jawab pengajar Walaupun begitu, kita harus pintar-pintar menjaga perasaan jengkel atau pusing yang dirasakan plus berhati-hati mengekspresikan perasaan itu sehingga tindakan kita juga terkendali.
Mengatasi dan menyelesaikan masalah para peserta didik memang susah-susah gampang. Apalagi jika persoalan yang terjadi lumayan pelik. Wah, mungkin ustadz-ustadzahnya pun bisa jadi strees dibuatnya. ^_^. Memang mencari solusi dan penyelesaian permasalahan yang pas dan tepat membutuhkan upaya extra, agar persoalan benar-benar selesai dan tidak merembet dan memunculkan persoalan yang lain lagi. Lalu bagaimanakah supaya bisa mendapatkan cara penyelesaian yang tepat?
Dalam menyelesaikan masalah, diperlukan kemampuan dalam menghakimi. Jika begitu adanya, maka para ustadz-ustadzah pun harus mempunyai kemampuan menjadi hakim. Tentu bukan sekedar hakim kacangan yang kerjanya hanya memvonis terdakwa saja, namun harus menjadi hakim yang baik dan adil. Nah berikut ini akan saya paparkan apa yang harus dilakukan para ustadz-ustadzah untuk menjadi hakim yang baik dan adil itu.

1.      Memahami Persoalan dengan Baik
Jika suatu waktu kita dihadapkan pada sebuah kasus atau permasalahan yang dilakukan oleh para peserta didik, maka langkah yang pertama kali kita ambil adalah, mendalami akar persoalan dengan baik terlebih dahulu. Hal ini sangat penting agar keputusan yang kita ambil nantinya benar-benar tepat. Jadi, mungkin yang pertama kali kita lakukan adalah menggali informasi sebanyak mungkin dari anak yang bersangkutan, dari teman-teman yang berkaitan dengan anak tersebut, atau pihak-pihak lain yang dapat memberikan penjelasan tentang masalah yang sebenarnya.
Sebagai contoh, jika ada salah satu peserta didik terlibat dalam suatu pertengkaran, atau pelanggaran, tanpa suatu alasan yang jelas, maka sangat penting kita mendalami akar masalahnya tersebut. Salah satu caranya adalah mengajak anak yang bertengkar atau melanggar tersebut untuk berbicara dengan kita secara pribadi dan memintanya untuk mengungkapkan akar masalah yang ia hadapi.
Semakin banyak informasi yang kita ketahui, akan semakin mudah pula untuk mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan diambil. Keputusan atau hukuman pun akan tercipta dengan adil. Anak yang melanggar juga akan menerima hukuman tersebut dengan lapang dada dan penuh dengan kesadaran diri.

2.      Tidak Emosi
Dalam menghadapi masalah, yang harus dihindari adalah emosi. Yah, mungkin tingkah anak didik cukup membuat kita naik pitam, namun kita sebagai seorang utadz-ustadzah tetap harus menahan emosi. Walaupun misalnya, si anak yang bermasalah itu tidak bisa menunjukkan kerjasamanya saat kita ingin mengatasi permasalahannya. Kita tetap harus menguatkan diri dan menjaga sikap kita dengan tenang dan sabar. Jangan sampai emosi kita mempengaruhi keputusan yang kita buat.
Ingat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bukanlah orang yang kuat yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Muttafaq ‘Alaih).
Emosi atau amarah seringkali membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih, kurang pertimbangan, dan tidak mampu memahami persoalan dengan baik. Jika demikian, bisa dipastikan keputusan yang diambil tidak akan adil, bahkan bisa saja menyimpang, dan tidak disetujui oleh banyak pihak.
Sudah berapa banyak kita mendengar kabar penganiayaan guru terhadap muridnya. Biasanya peristiwa diawali dengan tingkah murid (yang sebenarnya sepele) yang membuat sang guru marah. Akibatnya terjadilah hukuman tak berperikemanusiaan yang diberikan guru kepada murid. Itulah akibat dari emosi. Oleh sebab itu, jika kita dalam keadaan emosi, sebaiknya kita endapkan dulu emosi kita, jangan memberikan keputusan dulu, sampai keadaan kita menjadi labil dan kita bisa berpikir jernih. Anak didik yang sengaja berbuat kesalahan memang harus diberi sanksi. Namun, ingat, dalam memberikan sanksi, kondisi kita harus dalam keadaan tenang dan tidak emosi. Karena sifat emosi yang meluap-luap bukan karakter ustadz-ustadzah yang bijaksana.

3.      Tidak Pilih Kasih
Siapapun yang melanggar peraturan akan mendapatkan peringatan atau hukuman. Artinya, peringatan dan hukuman tetap diberlakukan kepada siapapun yang melanggar. Tidak pandang bulu siapakah yang melanggar, walaupun anak yang melanggar adalah anaknya sahabat kita, atau masih ada hubungan kerabat dengan kita, atau malah anak kita sendiri. Jadi tidak ada istilah pilih kasih. Semuanya dihukumi sama.
Sikap tidak pilih kasih inilah yang harus kita tunjukkan kepada para peserta didik. Karena biasanya, sikap pilih kasih sangat berpengaruh sekali dalam jiwa para peserta didik. Sikap pilih kasih sangat begitu menyakiti hati peserta didik, bahkan mereka tidak akan melupakannya selama hidup mereka. 

4.      Tegas
Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala membuat keputusan. Selama keputusan dibuat berdasarkan data-data yang akurat, maka tanpa menghiraukan bisikan-bisikan yang masuk, kita harus komitmen dengan keputusan yang memang sesuai untuk diterapkan dan jangan ragu. Jangan sampai keputusan yang sudah dibuat diubah karena terpengaruh hal-hal yang tidak semestinya. Karena jika demikian yang terjadi, maka keputusan yang diambil akan terkesan main-main dan tidak serius.  Dan bahkan sangat repot juga, kalau misalnya para peserta didik menilai bahwa para ustadz-ustadzahnya plin-plan dalam memberi aturan. 

5.      Konsekuensi bukan hukuman
Kegiatan belajar dan mengajar sangat perlu aturan kedisiplinan demi kelancaran proses belajar mengajar. Tingkah polah anak didik yang menyelisihi atau keluar dari aturan kedisiplinan yang telah dibuat termasuk pelanggaran. Pelanggar aturan pun harus diberi tindakan. Namun untuk pemberian tindakan ini, kita harus sangat hati-hati memutuskannya. Sangat baik sekali kalau semua akibat dari setiap pelanggaran bisa dipertimbangkan dan ditentukan sejak awal sebagai konsekuensi. Yang perlu diingat, tindakan untuk semua pelanggaran ditujukan untuk memberi konsekuensi dan bukan hukuman. Karena hukuman dan konsekuensi sangat beda sekali. Coba kita kenali apa itu hukuman dan apa itu konsekuensi.
Hukuman
1.   Menjadikan peserta didik sebagai pihak yang tidak punya hak tawar menawar dan tidak berdaya. Guru atau ustadz-ustadzahnya menjadi pihak yang sangat berkuasa. Ingat “Power tends to corrupt”
2.    Jenisnya tergantung ustadz-ustadzahnya, apabila hati ustadz-ustadzah sedang senang maka santri terlambat pun tidak akan dikunci diluar.
3.   Bisa dijatuhkan berlipat-lipat derajatnya terutama bagi santri yang sering melanggar peraturan.
4.   Ustadz-ustadzah cenderung memberi cap buruk bagi santri yang sering melanggar.
5.   Sifatnya selalu berupa ancaman
6.   Tidak boleh ada pihak yang tidak setuju, semua pihak harus setuju. Jadi sifatnya memaksa.
Konsekuensi
1.      Dijatuhkan saat ada perbuatan yang terjadi dan berdasarkan pada aturan yang telah disepakati.
2.      Sesuai dengan perilaku pelanggaran yang peserta didik lakukan.
3.      Menghindari memberi cap pada anak, dengan memberi cap jelek akan melahirkan stigma pada diri anak bahwa ia adalah pribadi yang berperilaku buruk untuk selama-lamanya.
4.      Membuat santri bertanggung jawab pada pilihannya. Ustadz-ustadzah bisa mengatakan “Zulfan, kamu memilih untuk ribut pada saat ustadz sedang menerangkan maka silahkan duduk di luar selama 5 menit”. Dengan demikian ustadz-ustadzah menempatkan harga diri anak pada peringkat pertama. Bandingkan dengan perkataan ini “Zulfan, dasar kamu anak tidak tahu peraturan,…. tukang ribut! Sana keluar….!
Bentuk hukuman dan kensekuensi dari dhahirnya memang agak mirip. Namun, konsekuensi diadakan disertai kesadaran murid sebagai akibat dari perbuatan yang ia lakukan. Misalnya, sebuah TPA menerapkan konsekuensi atas para peserta didik yang terlambat, yaitu dengan memotong jam istirahat sampai meminta mereka masuk TPA di hari libur. Dengan demikian para peserta didik menjadi makin bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya serta harga diri mereka juga terjaga. Selain itu juga mereka juga menjadi sadar bahwa konsekuensi bertujuan untuk penyadaran dengan mengambil atau mengurangi hak istimewa mereka .
Konsekuensi juga diadakan dalam rangka mengembangkan kualitas pendidikan. Sehingga bolehlah saya sebut konsekuensi dengan hukuman edukatif. Dan sekali lagi, hukuman yang bersifat edukatif ini dibuat bersamaan dengan dibuatnya peraturan-peraturan kedisiplinan, serta disepakati oleh semua peserta didik sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang terjadi.

6.      Hukuman Edukatif
Hukuman memang sudah sewajarnya jika diberikan kepada anak-anak yang sengaja berbuat kesalahan. Akan tetapi, dalam menghukum, kita harus memperhatikan jenis hukuman apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak yang melanggar. Perlu diketahui, hukuman itu ada, bukan hanya supaya membuat anak jera dengan perbuatannya dan tidak mau mengulanginya. Akan tetapi hukuman merupakan konsekuensi yang diadakan untuk menyadarkan sang anak yang melanggar tadi, dan mengajarinya rasa tanggung jawab. Itu saja. Sehingga dalam memberi hukuman, perlu sekali mempertimbangkan nilai edukatif yang terkandung dalam hukuman yang kita adakan.
Ada banyak sekali jenis hukuman yang mempunyai nilai edukatif, diantaranya:
1)      Menampakkan wajah masam
Wajah masam yang kita perlihatkan kepada anak yang melakukan kesalahan bertujuan memperlihatkan kepada anak tersebut bahwa kita tidak suka dan tidak setuju dengan perbuatannya. Bagi anak, wajah masam yang diperlihatkan oleh para ustadz-ustadzahnya bisa menjadi hukuman baginya. Saat anak yang melakukan kesalahan melihat perubahan ekspresi kita, maka dia akan menyadari bahwa perbuatannya salah dan dia harus memperbaikinya.
2)      Memberikan time out
Maksud dari memberikan time out adalah dengan menyuruh si anak untuk berpisah dari kelompoknya, menyuruhnya duduk atau berdiri di suatu ruangan tertentu dalam waktu tertentu untuk merenungi kesalahannya. Bisa juga, dengan cara meminta si anak untuk beristighfar dengan jumlah tertentu. Setelah si anak selesai, baru anak dijelaskan kesalah-kesalahannya dan akibat dari kesalahan tersebut. Dan dia diperingatkan untuk tidak mengulanginya. Hukuman seperti ini sangat cocok untuk anak yang melakukan kesalahan terkait sopan santun baik kepada guru, orang tua, maupun kepada teman sebayanya.
3)      Memberi anak tugas bersih-bersih
Sebagai ustadz-ustadzah yang baik, kita tentu tak ingin memberikan toleransi kepada anak yang tidak mau menjaga kebersihan. Tak hanya terhadap anak yang tak menjaga kebersihan, kepada anak yang melakukan kesalahan lain pun bisa diberikan hukuman ini. Ketika di majlis ta’lim, kita bisa menyuruh anak untuk membersihkan papan tulis, menyapu kelas/ruang belajar sebelum pulang, atau kebersihan lainnya. Hukuman ini juga bisa mengajarkan tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan kepada si anak.
4)      Menyuruh anak meminta maaf kepada orang yang disakitinya
Ketika anak melakukan kesalahan kepada orang lain maka salah satu hukuman yang bisa berikan kepada si anak adalah dengan menyuruhnya meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dengan menyuruhnya meminta maaf itu sama saja mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
5)      Menyuruh anak berjanji untuk tidak mengulanginya
Salah satu tujuan diberikannya hukuman kepada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya. Jadi, setelah kita membuat anak sadar akan kesalahannya maka tugas kita selanjutnya adalah membuat anak berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya. Hukuman semacam ini memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah melatih anak untuk berlaku jujur, amanah, dan konsisten untuk menepati janjinya.
6)      Menyuruh anak membantu pekerjaan kita
Salah satu hukuman yang edukatif adalah dengan menyuruh anak membantu pekerjaan kita. Misalnya menghapus papan tulis, membagikan buku kepada santri lain, atau tugas-tugas guru lainnya.
7)      Menyuruh anak membaca buku dan menceritakan isinya
Menyuruh anak membaca buku adalah salah satu jenis hukuman edukatif yang cukup banyak disarankan oleh para pakar pendidikan dibanding dengan memarahi atau memukulnya. Selain dapat menambah pengetahuan, hukuman ini juga mengajarkan kebiasaan yang baik kepada si anak, khususnya kepada mereka yang tidak suka membaca. Selain membaca buku, menyuruh anak menceritakan kembali apa yang ia baca juga sangat penting. Hal ini diperlukan agar anak serius membaca apa yang ia baca. Jika hanya diminta untuk membaca tanpa menyampaikan isi dari yang ia baca, ada kemungkinan anak tidak serius membaca dan melakukannya hanya sebatas penggugur dosa. Selain itu juga, hukuman jenis ini akan bermanfaat bagi kita untuk mengetahui sejauh mana daya tangkap anak terhadap buku yang ia baca.
8)      Menyuruh anak menghafal
Hmm, ini mah hukuman favorit yang diberikan para ustadz-ustadzah untuk anak-anak yang melakukan kesalahan. Memang sangat bagus sekali meminta anak untuk menghafal, seperti menghafal surat-surat pendek dalam al-Qur’an, atau menghafal pelajaran yang masih berkaitan. Hukuman ini akan sangat bermanfaat untuk mengasah daya ingat, melatih konsentrasi, dan banyak manfaat lainnya.
9)      Menyuruh anak menulis
Menulis merupakan kegiatan yang sangat baik dibiasakan sejak kecil. Dengan menulis, anak dilatih untuk bisa mentransfer apa yang ada dalam pikiran mereka dalam bentuk tulisan. Menulis akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya kreatifitas anak. Selain itu, kebiasaan menulis sejak kecil juga bisa menjadi investasi masa depan bagi si anak. Jika kebiasaan menulisnya terus diasah, bukan tidak mungkin si anak kelak akan menjadi seorang penulis hebat dan mampu memberikan banyak mafaat bagi orang banyak.

7.      Tidak Terlalu Memvonis, tetapi Menyadarkan
Terlalu memvonis peserta didik yang berbuat salah sebenarnya merupakan cara yang kurang tepat. Sebab, vonis akan membuat para peserta didik merasa tertekan dan terlalu disalahkan, sehingga kemungkinan besar mereka akan menjadi pribadi yang minder atau sebaliknya, pendendam. Oleh karena itu, jika kita sedang menangani peserta didik yang sedang bermasalah, maka kita hindari sikap memvonis dan melakukan upaya-upaya yang dapat membuat peserta didik menyadari akan kesalahannya. Misalnya, kita katakana pada anak yang bersalah: “Ustadz ( Ustadzah) dapat memahami mengapa kamu berbuat seperti itu. Akan tetapi kamu harus mengetahui bahwa perbuatan yang kamu lakukan itu merupakan hal yang di larang di pesantren ini. Ustadz (Ustadzah) bersedia membantu kamu asalkan kamu menyadari bahwa tindakanmu kurang tepat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Jika kamu bersedia, Ustadz (Ustadzah) sangat berterima kasih dan bangga dengan keputusanmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar