Jumat, 26 April 2013

MAAFKAN DINDA...

Hampir setahun sejak pernikahanku, aku dan suamiku tinggal di kos-kosan. Paling belakang, tinggal keluarga muda dengan dua anak, Pak Nasrul namanya. Bagian tengah, ada beberapa kamar untuk anak-anak SMA Islam. Rata-rata kelas II. Paling depan menghadap ke jalan adalah tempat tinggal kami. Bagian samping, memanjang ke belakang adalah tempat cuci dan jemuran penghuni kos-kosan. Jendela kami tepat menghadap ke tempat cucian.
***
Seperti biasa, tiap Kamis sore anak-anak SMA itu mencuci seragam sekolah mereka karena Jum’at besok libur. Anak-anak itu tak memakai kerudung, karena bagi mereka kerudung hanyalah peraturan sekolah.
 Di tempat cucian, suara gaduh gadis-gadis SMA itu membuatkku yang sedang istirahat dan tiduran di kamar merasa terganggu. Biasa, anak ABG memang suka berlebihan jika bercanda. Inilah yang membuatku risih dengan ulah mereka. Sebenarnya sudah berkali-kali ku tegur mereka, bahkan tak jarang ku memarahi mereka, tapi namanya saja anak-anak yang belum dewasa, masih saja belum kapok.
Suara mereka makin ramai, suara tawa dan jeritan menjadi satu dan membikin suasana hatiku memanas. Akhirnya kesebaranku mulai terkikis dan terpaksa ku turun dari ranjang untuk melihat sumber kegaduhan itu. 
Dari balik tirai kamar, ku arahkan mataku ke jendela. Pemandangan pertama yang kulihat bukanlah gadis-gadis yang gaduh itu, tapi sosok suamiku yang sedang duduk di depan jendela yang menghadap ke tempat cucian. Di tangannya ada koran yang tengah dibacanya. Melihat kondisi tersebut, kurasakan suhu badanku tiba-tiba naik, menjalar dari kaki sampai kepala. Kupingku panas. Dadaku terasa sesak. Mengapa suamiku memilih tempat itu untuk membaca koran? Apa maunya? Eit, terlihat dari gerakan kepalanya, dia memandang ke arah gadis-gadis itu! Wah apakah ini yang dia inginkan? Menikmati pemandangan yang mungkin menurutnya sangat mengasyikkan atau bahkan bisa buat cuci mata di sore hari?. Perlahan ku hampiri dia, dan ku sentuh pundaknya. Ia menggerakkan kepalanya sedikit dan kembali ke koran yang dibacanya.
“Sepertinya dari tadi tak beranjak dari sini, Mas. Serius lagi. Memang ada kabar menarik apa di koran?”, kataku dengan senyum sinis. Nada suaraku lembut tapi menohok. Ku memang menyindirnya.
“Hm, biasa aja ...”, kata suamiku sambil membolak-balikan halaman tanpa menoleh ke arahku walau sebentar. Cih! Tentu saja biasa, tapi yang bikin kerasan di tempat ini karena ada gadis-gadis itu kan? .
Ku berjalan menuju rak buku di samping suamiku, mengambil buku dan sekedar membolak-balik halaman tanpa membaca. Ku menunggu sampai suamiku berkata sesuatu untukku. Tapi tak kunjung juga ia berbicara. Kuambil beberapa buku dengan cepat dan sengaja ku jatuhkan salah satu buku yang ku bawa.
Srek! Kusampar buku yang terjatuh di lantai, sambil melirik suamiku yang menatap ke luar jendela. Huh! Begitu asyiknya melihat gadis-gadis tak berkerudung itu sehingga tak menggubrisku.
Tapi ... apa benar suamiku melihat anak-anak yang sedang mencuci itu? Dia kan  baca koran? Ah! Kamuflase! Sebentar-sebentar matanya kan diangkat, tepat pada gadis-gadis muda itu kah?
Terbakar sudah hatiku melihat suamiku yang semakin banyak melemparkan pandangannya kepada gadis-gadis itu. Dasar mata keranjang! Umpatku dalam hati. Huh! Gadis-gadis itu apalagi, genit! Tertawa dibuat-buat. Nyanyi keras-keras pula! Memang merdu!? Pasang aksi di depan suamiku! Hatiku terus mengumpat.
Apakah karena perutku buncit sehingga sudah tak menarik lagi? Toh juga karena mengandung anak suamiku kan? Aku juga masih muda? Paling cuma selisih lima tahun dengan gadis-gadis itu, apasih yang kurang dari diriku?. Mataku memerah, tangisku hampir pecah.
Ku bergegas menuju dapur. Krompyang!! Kujatuh kan tutup panci agar menarik perhatian suamiku.
“Ada apa, sayang?” terdengar suara suamiku.
Nah! Berhasil! Tapi, ... dia memanggilku ‘sayang’? Alaaah, paling cuma pura-pura saja. Aku diam saja.
Masya Allah, sudah sejahat inikah aku? Bukankah suamiku memang menyayangiku? Apalagi saat hamil ini? Apakah syaithon telah meniupkan api cemburu di hatiku? Dan melalaikanku dari mengingat Mu?
Sesaat suamiku masuk ke dapur. Kulihat ada gurat kekecewaan di wajahnya. Tak terdengar lagi suara anak-anak tadi. Sudah selesai mencuci rupanya.
“Pak Nasrul tidak lewat. Ku tunggu dari tadi untuk menitipkan surat ijin, agar bisa mengantarmu ke bidan sore ini, sekalian belanja perlengkapan bayi”, kata suamiku.
Astaghfirullah ... Jadi ... ? Kupeluk suamiku dengan mata berkaca-kaca.
“Kok menangis?” godanya tanpa prasangka.
Kubenamkan kepalaku di dadanya untuk menutupi rasa bersalahku.
“Kenapa, Sayang? Maafkan Mas tak bisa mengantarmu hari ini. Mas usahakan besok, insya Allah”, katanya tulus sambil membelai rambutku lembut. Hatiku kian menjerit.
“Maafkan Dinda, Mas.. Dinda sayang Mas..”
Ya Allah, ampunilah aku karena cemburu butaku, sampai berburuk sangka pada suamiku yang dengan ketulusannya begitu sangat menyayangiku.
‘Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah persangkaan. Karena sebagian persangkaan ada dosa’. Al-Hujurat:12.


-SELESAI-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar