MAAFKAN DINDA...
Hampir
setahun sejak pernikahanku, aku dan suamiku tinggal di kos-kosan. Paling
belakang, tinggal keluarga muda dengan dua anak, Pak Nasrul namanya. Bagian
tengah, ada beberapa kamar untuk anak-anak SMA Islam. Rata-rata kelas II.
Paling depan menghadap ke jalan adalah tempat tinggal kami. Bagian samping,
memanjang ke belakang adalah tempat cuci dan jemuran penghuni kos-kosan.
Jendela kami tepat menghadap ke tempat cucian.
***
Seperti
biasa, tiap Kamis sore anak-anak SMA itu mencuci seragam sekolah mereka karena
Jum’at besok libur. Anak-anak itu tak memakai kerudung, karena bagi mereka
kerudung hanyalah peraturan sekolah.
Di tempat cucian, suara gaduh gadis-gadis SMA
itu membuatkku yang sedang istirahat dan tiduran di kamar merasa terganggu.
Biasa, anak ABG memang suka berlebihan jika bercanda. Inilah yang membuatku
risih dengan ulah mereka. Sebenarnya sudah berkali-kali ku tegur mereka, bahkan
tak jarang ku memarahi mereka, tapi namanya saja anak-anak yang belum dewasa,
masih saja belum kapok.
Suara
mereka makin ramai, suara tawa dan jeritan menjadi satu dan membikin suasana
hatiku memanas. Akhirnya kesebaranku mulai terkikis dan terpaksa ku turun dari
ranjang untuk melihat sumber kegaduhan itu.
Dari
balik tirai kamar, ku arahkan mataku ke jendela. Pemandangan pertama yang
kulihat bukanlah gadis-gadis yang gaduh itu, tapi sosok suamiku yang sedang
duduk di depan jendela yang menghadap ke tempat cucian. Di tangannya ada koran
yang tengah dibacanya. Melihat kondisi tersebut, kurasakan suhu badanku
tiba-tiba naik, menjalar dari kaki sampai kepala. Kupingku panas. Dadaku terasa
sesak. Mengapa suamiku memilih tempat itu untuk membaca koran? Apa maunya? Eit,
terlihat dari gerakan kepalanya, dia memandang ke arah gadis-gadis itu! Wah
apakah ini yang dia inginkan? Menikmati pemandangan yang mungkin menurutnya
sangat mengasyikkan atau bahkan bisa buat cuci mata di sore hari?. Perlahan ku
hampiri dia, dan ku sentuh pundaknya. Ia menggerakkan kepalanya sedikit dan
kembali ke koran yang dibacanya.
“Sepertinya
dari tadi tak beranjak dari sini, Mas. Serius lagi. Memang ada kabar menarik
apa di koran?”, kataku dengan senyum sinis. Nada suaraku lembut tapi menohok.
Ku memang menyindirnya.
“Hm,
biasa aja ...”, kata suamiku sambil membolak-balikan halaman tanpa menoleh ke
arahku walau sebentar. Cih! Tentu saja biasa, tapi yang bikin kerasan di tempat
ini karena ada gadis-gadis itu kan? .
Ku
berjalan menuju rak buku di samping suamiku, mengambil buku dan sekedar
membolak-balik halaman tanpa membaca. Ku menunggu sampai suamiku berkata
sesuatu untukku. Tapi tak kunjung juga ia berbicara. Kuambil beberapa buku
dengan cepat dan sengaja ku jatuhkan salah satu buku yang ku bawa.
Srek!
Kusampar buku yang terjatuh di lantai, sambil melirik suamiku yang menatap ke luar
jendela. Huh! Begitu asyiknya melihat gadis-gadis tak berkerudung itu sehingga
tak menggubrisku.
Tapi
... apa benar suamiku melihat anak-anak yang sedang mencuci itu? Dia kan baca koran? Ah! Kamuflase! Sebentar-sebentar
matanya kan diangkat, tepat pada gadis-gadis muda itu kah?
Terbakar
sudah hatiku melihat suamiku yang semakin banyak melemparkan pandangannya kepada
gadis-gadis itu. Dasar mata keranjang! Umpatku dalam hati. Huh! Gadis-gadis itu
apalagi, genit! Tertawa dibuat-buat. Nyanyi keras-keras pula! Memang merdu!?
Pasang aksi di depan suamiku! Hatiku terus mengumpat.
Apakah
karena perutku buncit sehingga sudah tak menarik lagi? Toh juga karena
mengandung anak suamiku kan? Aku juga masih muda? Paling cuma selisih lima
tahun dengan gadis-gadis itu, apasih yang kurang dari diriku?. Mataku memerah, tangisku
hampir pecah.
Ku
bergegas menuju dapur. Krompyang!! Kujatuh kan tutup panci agar menarik
perhatian suamiku.
“Ada
apa, sayang?” terdengar suara suamiku.
Nah!
Berhasil! Tapi, ... dia memanggilku ‘sayang’? Alaaah, paling cuma pura-pura
saja. Aku diam saja.
Masya
Allah, sudah sejahat inikah aku? Bukankah suamiku memang menyayangiku? Apalagi
saat hamil ini? Apakah syaithon telah meniupkan api cemburu di hatiku? Dan
melalaikanku dari mengingat Mu?
Sesaat
suamiku masuk ke dapur. Kulihat ada gurat kekecewaan di wajahnya. Tak terdengar
lagi suara anak-anak tadi. Sudah selesai mencuci rupanya.
“Pak
Nasrul tidak lewat. Ku tunggu dari tadi untuk menitipkan surat ijin, agar bisa
mengantarmu ke bidan sore ini, sekalian belanja perlengkapan bayi”, kata
suamiku.
Astaghfirullah
... Jadi ... ? Kupeluk suamiku dengan mata berkaca-kaca.
“Kok
menangis?” godanya tanpa prasangka.
Kubenamkan
kepalaku di dadanya untuk menutupi rasa bersalahku.
“Kenapa,
Sayang? Maafkan Mas tak bisa mengantarmu hari ini. Mas usahakan besok, insya
Allah”, katanya tulus sambil membelai rambutku lembut. Hatiku kian menjerit.
“Maafkan
Dinda, Mas.. Dinda sayang Mas..”
Ya
Allah, ampunilah aku karena cemburu butaku, sampai berburuk sangka pada suamiku
yang dengan ketulusannya begitu sangat menyayangiku.
‘Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah persangkaan. Karena sebagian persangkaan ada
dosa’. Al-Hujurat:12.
|
Jumat, 26 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar